Malam itu agaknya
dingin tidak terlalu menusuk kulit saat kami membangunkan murid murid kami,
pada dini hari tepat malam satu muharram. Waktu menunjukkan pukul 01.15 menit.
Waktu yang sangat pas untuk meringkuk ditempat tidur, sambil menarik selimut,
pulas hingga pagi.
Tapi tidak untuk
malam ini. Sengaja kami atur acaranya begini. Anak- anak (sapaan yang menandakan
cintanya kami kepada murid) hari itu, rabu pagi pukul 10.00 sudah kami
perbolehkan pulang. Tidak seperti biasanya perpulangan lepas ashar.
"Nanti," kata kami berpesan kepada mereka menjelang pulang
"kalian harus sudah kembali ke sekolah, maksimal shalat magrib sudah
jamaah disini. Memakai seragam coklat jsit" Mereka pun mengiyakan.
Acaranya memang
sederhana, hanya tilawah sebentar, makan hingga isya, lalu nobar film sejarah G30S/PKI. Sengaja kami putarkan untuk mengajari mereka tentang suatu masa kelam
yang pernah terjadi pada bangsa ini, dulu. Acara ini pun baru selesai hampir 3
jam.
Waktu sudah
menunjukkan pukul sebelas malam, anak anak kami minta untuk istirahat. Jam satu
dini hari, kami bangunkan mereka. Lima belas menit sesudahnya, mereka sudah
berbaris rapi sesuai kelompok yang telah kami bacakan kepada mereka.
Setiap kelompok
terdiri sekitar 8 orang dengan satu guru pendamping. Baik putra maupun putri,
agaknya semua telah siap dengan kelompoknya masing masing. Malam ini kami akan
menembus gelap, berjalan menyusuri tak seberapa dari bumi ini. Esok pagi kami
baru akan tiba di sekolah, setelah matahari menanjak sedikit menyengat.
Kami sudah
berpesan kepada anak anak, bahwa malam ini, bisa jadi perjalanan akan sedikit
melelahkan. Menembus gulita, menyibak dingin, bertarung dengan kelelahan. Itu
sebabnya, kami persilakan mereka membawa jaket, senter, makanan atau sesuatu
yang dapat membantu mereka dalam perjalanan. Tentu saja, apa yang harus dibawa
harus seizin kami.
Ah iya, satu lagi
yang terlewat. Ini tentang para orangtua. Rupa rupanya mereka khawatir tentang
putra putrinya. Menempuh 15km dengan berjalan kaki bukan jarak yang amat
singkat dan mudahh dibayangkan, terlebih di malam hari. Itulah, saat magrib banyak orangtua murid yang berpesan, mewanti wanti "ust, saya titip anak
saya ya.... Semoga lancar acaranya." Ada lagi orangtua yang lain
"Ust, jauh sekali jaraknya..... " Katanya seperti gagal menyembunyikan
kekhawatiran. Nampak benar dari nadanya berbicara. Kami pun hanya tersenyum
sambil meminta doa agar semuanya baik baik saja. Ada lagi, "ust, anak saya
punya asma. Kalau lelah mudah kambuh, terlebih jika kedinginan.. " . Dua
wali yang berpesan begitu. Kami jawab jika benar adanya, akan kami persilakan
anaknya untuk istirahat saja disekolah, tidak perlu ikut perjalanan. Legalah
hati orangtua tersebut. dipenghujung pesannya, ia mengucapkan banyak sekali
terima kasih.
Kami mencari anak
yang mempunyai asma. Ketemu, ada dua anak. Kami tawari bahwa perjalanan malam
ini akan membutuhkan banyak tenaga. Hasilnya, "saya istirahat di sekolah
saja ust.." kata salah satu anak. Sepertinya ia sudah mengukur benar
kekuatannya tidak terlalu cukup untuk melalui semuanya malam ini.
"Saya ust," kata sang anak satunya lagi, "saya tetap ikut. Insya allah saya kuat meski saya punya asma." tegasnya. Kata katanya kuat, tiada ragu. Tapi kami tawarkan lagi untuk
istirahat saja di sekolah. Hingga tiga kali, sang anak tetap keukeh pada
tekadnya. Kami berbinar, sambil berbisik dalam hati, semoga saat ia menggapai
citanya kelak, seteguh pula pendiriannya seperti malam ini.
jam satu tiga puluh
dini hari.
Seluruh guru
sudah siap. Ada yang mengawal regu, ada yang bagian belakang, tim penyisir, dan beberapa dari guru ada yang mengendarai sepeda motor. jumlahnya tidak banyak, hanya satu dua. Barangkali,
ditengah perjalanan nanti, ada siswa yang membutuhkan kaki tambahan untuk
terus mengayunkan langkah.
Diawali doa dan
nasehat adab selama dalam perjalanan, satu persatu regu mulai mengawali langkah
menembus malam. Dimulai dari regu putra. Regu satu berjalan, regu dua, regu
tiga, disusul regu empat, lima, enam, tujuh dan seterusnya sampai beberapa
jarak, regu putri juga menyusul. Mengawali langkah dari regu satu, regu dua,
tiga, empat hingga akhir.
Yang semula
mengantuk sudah pudar dan kembali terjaga. Justru kini riuh disepanjang jalan.
Langit sunyi pecah oleh banyak suara. Dua burung malam tetiba terbang entah
kemana. Dipikirnya, kami telah mengetahui persembunyiannya. Bahkan, seekor
katak yang tengah mengejar mangsanya juga ikut berhenti saat langkah kami
menyibak dan menghentikan langkahnya. Sepertinya katak itu tak mau ambil resiko
dengan mengejar mangsanya yang lari kearah kami. Ia tak mau ambil resiko.
Biarlah ia kehilangan mangsanya malam ini. Dari pada ia kejar, bisa bisa, malah
dirinya yang habis terinjak.
Sang katak
terdiam, sambil memandang dengan geram barisan parade kami, lantas ia
mundur,berbalik arah dan menjauh dari
kami.
Tak jauh dari
sang katak, seekor ular juga buru buru pergi melarikan diri setelah melihat
barisan kami paling belakang membawa lampu panjang merah seperti yang dibawa
oleh juru parkir jika malam hari. Ular itu mengira kami membawa senjata tajam
semacam pedang, padahal hanya lampu. Ia masih ingat betul dengan ular
sekandungnya yang mencoba membelit petani bulan lalu ditengah sawah. Sayangnya
petani yang membawa arit dipinggangnya itu bukanlah mangsa yang baik, Orang
dengan sebuah senjata di pinggang terlalulah berbahaya untuk diserang. Ular itu
tidak pernah lupa pada sebuah peristiwa mengerikan yang menimpa ular
sekandungnya. Bermaksud meringkus manusia malah lampus saat mencoba
membelitnya. Sang korban menikam bagian perut hingga robek. Darah ular
berceceran. Mati tiada daya. Lalu pergilah sang ular.
Malam merangkak,
kami terus berjalan memasuki jalanan beraspal. Menyebrang lurus melewati
perempatan pasar ngupit. Disebelahnya, bangunan pasar sedang dibangun nampak
jauh dari kata selesai. pasarnya sunyi, mungkin para pedagang masih dalam perjalanan menuju kesini. di dalam barisan kami, beberapa dari anak terkadang berhenti membetulkan tali
sepatu yang kendor. ada juga anak putri yang terlihat merapikan jilbabnya, menyeka
keringat yang mulai bercucuran. Keringat sebesar bulir jagung, tapi banyak
bermunculan. Dibagian agak depan, ada anak yang berlari, bukan mengejar
ketertinggalan, tapi mempercepat langkah. Begitu agak jauh dari regunya, ia
segera menepi, berhenti, berjongkok, lalu mengeluarkan botol minum dari dalam
tasnya. Glek... Glek.. glek... terdengar suara saat ia meminumnya. seakan- akan haus luar biasa.
Sesekali, truk
lewat dengan kecepatan tinggi. Begitu kami beri isyarat, barulah mereka
melambat. Sambil kami sapa, "maaf pak, tolong kecepatannya
dikurangi."
Jalan kali ini
bukan aspal. Tapi semen cor yang panjangnya entah sampai mana. Usai dari pom
bensin ngupit, kami belok kiri begitu menemukanpertigaan. Kali ini, sepanjang jalan yang kami lewati hanyalah sawah
sawah. Harum bau tanah, semilir angin, dingin yang mengalir, serta bayangan
pohon pohon, membuat nyaman hati kami. Ada ketenangan yang menyelinap. damai rasanya.
saat menyusuri
jauhnya jalan ini. diujung jalan menjelang perkampungan, kami beristirahat
sejenak. Mengatur nafas yang mulai memburu. Mengisi energi dengan beberapa roti
yang telah dibawa. Kami lihat tiap- tiap anggota regu membawa makanan. Mereka
saling berbagi, mencoba makanan temannya, begitu sebaliknya. Sambil duduk
dipinggir jalan, mereka saling bercerita ria.
Sayup sayup pula
kami dengar, dari pembicaraan mereka, ada yang berseru pelan "bintangnya bagus
ya... Banyak, elok nan cantik.". Lalu ditanggapi sebelahnya "itu
lihat, seperti ada sungai dilangit. .. " . Ah nak, maka nikmat tuhanmu
yang manakah yang akan engkau dustakan?
Usai 15 menit dari
waktu kami istirahat. Sebentar lagi kami memasuki perkampungan. Desa gatak
namanya. Sebelum memasuki perkmapungan kami sudah berpesan ke anak anak
tentang adab melewati penduduk. Mereka sedang istirahat jadi saat lewat harus
tenang.
Tapi.... Barulah
10 menit berjalan, anak anak sudah minta istirahat lagi. Kami berada ditengah
perkampungan. Beberapa pintu rumah warga tiba tiba terbuka, keluar pemiliknya,
dan melihat kami dengan teliti. Sepertinya ia terganggu dengan keriuhan anak
anak. Maafkan kami ya pak....
Pukul dua tiga
puluh dini hari
Kami melanjutkan
perjalanan. Sekitar satu jam lagi kami akan sampai di masjid singgah. Pelan- pelan kami menenun langkah. Mengayuh asa untuk segera sampai di tempat singgah.
Sebagian lagi, ada yang berlari penuh semangat. Rerata anak putra yang
melakukannya. Saat ada temannya yang menyalip, yang disalip pun tak terima. Ia
kejar hingga di depannya. Yang tadi menyalip merasa lagi disalip. Alhasil,
saling kejar kejaran. Sambil bersorak "tunggu.... !!" . Selalu saja begitu.
Di bagian baris
paling belakang, agaknya sudah ada yang mulai berguguran. Sejanak menepi,
mengeluarkan botol minum, dan minum tak terkendali. Haus benar sepertinya.
Seorang ustadzah yang naik motor
menawarinya untuk ikut dengannya. Tapi ia menolak, "saya titip tas
saja us... " Kata sang anak.
Waktu belumlah
pukul empat. Tapi kami sudah sampai di masjid singgah. Jadi, sebelum subuh
datang kami telah sampai terlebih dahulu. Jeda menunggu azan subuh banyak
mereka gunakan untuk rehat. Selonjoran, menyandar di dinding., melepas sepatu,
ada pula yang langsung meringkuk saat takmir masjid menggelar tikar di teras
halaman masjid. Berduyun duyun mereka berebut tempat. Pak takmir sempat
mengingatkan agar tidak berebut. Karena tikar masih banyak.
Ada dua masjid
yang dijadikan tempat singgah. Yang satu untuk istirahat putra dan satunya
lagi untuk singgah anak putri. Jarak kedua masjid tak terpaut jauh, hanya
50 meter kira kira. Didua masjid itu, kami menunaikan shalat subuh. Menunaikan
kewajiban sebagai seorang hamba kepada tuannya. Puja puji kami lantunkan atas
seluruh anugrah yang kami terima. Memanjatkan syukur kepada Allah swt. Raja
segenap semesta. sang pemilik tahta jagad raya. Membentang dari negri ujung
timur hingga ujung tenggelamnya sang surya. Sang pemberi penghidupan. Pelindung
orang- orang miskin. Mengasihi mereka yang berbudi.
Usai shalat,
Duduk berselampang kami, Bersila takzim tangan bersalam memberi hormat kepada
takmjr masjid dan segenap warga yang hadir. Sang takmir, Terang wajahnya, belum
juga terlalu tua, berwatak tegas lagi seorang pengayom. Luhur memuliakan tamu.
Kami disuguhi teh hangat, bubur dengan lauk tahu besar ditengahnya. Lahap semua
memakannya, tanpa sisa. Apapun, jika lapar semua akan terasa nikmat adanya.
Setelahnya, Berceritalah kami tentang perjalanan yang sedang kami tempuh. Kira
kira tiga jam lagi, kami akan sampai di rumah. Sekalian kami pamit untuk
meneruskan langkah.
Pagi menyingsing,
telah ramai jalanan dengan orang- orang berlalu lalang. Memancarlah bagaskara
dalam pangkuan bumi, mengeringkan daun embun yang basah, menyuburkan sawah- sawah. Sinar
kemuning jatuh diantara pohon- pohon ; pohon waru, pohon munggur. pohon
beringin, akarnya menjulur hingga bawah, menyentuh air sungai. Anak kecil dari
pedukuhan seringlah bermain- main. Menaiki akar gantung, lalu loncat sejadi-
jadinya. Berderetlah pohon besar lagi tinggi. Menyaring matahari, tetapi
masih terang gemilang. Berkicau para bangsa burung. Terbang mencari
penghidupan. Burung gereja mencari makan diantara padi di sawah. Burung blekok
juga tampak disana. Burung lain yang tidak bisa terbang, harus pasrah dengan
takdir. sebangsa bebek, angsa dipelihara oleh manusia. Diberi jatah makanan
semalam yang sudah basi.
Udara pagi
mengalir begitu sejuk. Berderap langkah kami menyusuri jalanan ramai. Kanan
kiri kami hanya sawah hijau meski hari ini masih masuk musim kemarau. Dalam derap
langkah kami, diiringi pula teriakan yel yel sehika jaya yang khas itu. Dengan
tangan mengepal memukul langit dan berseru lantang. Sesekali, kami juga
bertakbir.
Telah usai
perjalanan kami. Pukul tujuh pagi. Saat mentari mulai menyengat pelan. Harapan
besar dengan kegiatan ini, adalah meneladari spirit kenabian pada peristiwa
hijrah dulu. Saat nabi dan para sahabat hijrah dari meekah menuju madinah.
Semua mereka lakukan hanya untuk allah dan rasulnya. Selain itu, semangat ini
semoga memberi nilai kepada mereka, bahwa saat mendaki cita cita nanti, akan
ada banyak aral rintang yang menghadang, tapi tak menyurutkan langkah merek
untuk menggapainya. Seberat apapun itu, pasti ada jalan jika terus berusaha dan
tak mudah untuk menyerah.
*Tulisan ini
dibuat dua hari usai dari perjalanan. Saat langit tengah mendung dan hujan
luruh untuk pertama kalinya setelah kemarau panjang di langit bumi bersinar. Di
rumah kami, yang tak jauh dari kampung jonggrangan. Tempat bersemayamnya roro
jonggrang dalam sebuah legenda.
0 Response to "Catatan Perjalanan Malam 1 Muharram 1439 H"
0 Response to "Catatan Perjalanan Malam 1 Muharram 1439 H"
Posting Komentar