Di suatu pagi yang sejuk, boss
kantor datang lebih awal, bahkan lebih cepat dari office boy. Perut boss itu
sudah mulai buncit (maklum, kurang olah raga). Karena datang terlalu pagi, lift
kantor masih belum beroperasi. Dia memutuskan naik tangga sambil berharap perut
buncitnya berkurang.
Padahal kantornya di lantai tiga
puluh lo! “Ah tak apa sesekali, nanti sampai atas aku selfi kirim ke istri”.
gumamnya. Satu, dua, tiga, empat lantai dilewati.
Nafas mulai memburu tetapi dia
terus bersemangat. Dengan susah payah, akhirnya sampai juga dia di lantai tiga
puluh. Ya, lantai tiga puluh! Peluh bercucuran, tapi dia puas. Nafas
tersengal-sengal, tapi dia bangga. “Pagi ini aku taklukkan puncak Everest”,
teriaknya.
Dia lalu meraba saku celana,
mengambil kunci. Ya Allah, kunci kantor ternyata tertinggal di mobil yang
diparkir di lantai dasar, sementara dia mulai kebelet ingin ke kamar kecil
pula.
Demikianlah pula ketika seseorang
tak punya “kunci” hendak masuk surga. Ternyata, kunci amalan kebaikannya
tertinggal di dunia. Ya, bila seseorang tak ikhlas dalam amalannya, niscaya nilainya pun hanya “nol
besar”.
Rasulullah SAW berkata,
“Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan niatnya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa
yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka
hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya”. (HR Bukhari-Muslim).
Bayangkan, betapa sedihnya kita
ketika segala amalan kebaikan yang kita lakukan di dunia ternyata nilanya nol
di hadapan Allah SWT. Betapa ruginya manusia, ketika surga telah dipertontonkan
di depan mata, lalu kuncinya tertinggal karena amal kebaikannya ternyata karena
alasan duniawi.
Ibnul Qayyim berkata, “amal tanpa
ikhlas bagaikan musafir yang memenuhi kantong-kantongnya dengan pasir,
dibawanya dalam keadaan berat namun tak memberi manfaat apapun”.
Karena itu pula, manusia selalu
digoda syaitan untuk berlaku riya. Boleh dikatakan, musuh utama ikhlas adalah
riya. Ulama mengatakan, riya ada dua jenis. Pertama hukumnya syirik akbar. Hal
ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia.
Itulah riya yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.
Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (An-Nisa’: 142).
Adapun yang kedua adalah riya
yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya ini muncul dalam sebagian
amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah.
Riya seperti ini merupakan
perbuatan syirik asghar.
Penyakit riya dapat menjangkiti
siapa saja, bahkan seorang yang alim sekali pun. Rasulullah SAW bersabda,
“sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar”.
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang maksudnya, beliau SAW menjawab,
“(contohnya) adalah riya”.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW
berkata, “Maukah kalian kuberitahu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan
terhadap kalian dari pada (fitnah) Dajjal?” Para sahabat berkata, “Tentu saja”.
Beliau SAW bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang
berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang
lain yang memperhatikannya “
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa
riya termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya
terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah
SWT. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali
Allah SWT semata.
Mengingat sedemikian pentingnya
menjauh dari riya agar ikhlas tetap terjaga, maka Rasulullah SAW mengajarkan
sebuah doa untuk melindungi dari syirik besar maupun syirik kecil itu.
Rasulullah SAW bersabda, “Wahai
sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar dari pada
rayapan seekor semut”. Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana kami
dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar dari pada rayapan seekor
semut?”
Rasulullah SAW menjawab,
‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa
astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan
syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang
tidak aku ketahui).”
Sungguh, puasa di
bulan Ramadhan ini
menjadi ajang latihan dan pembuktian keikhlasan kita kepada Allah SWT. Karena
itulah, dalam hadits qudsi, Rasulullah SAW berkata, “Seluruh amalan anak cucu
Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Akulah yang
akan membalasnya”. (HR Bukhari-Muslim)
Ulama mengatakan, puasa menjadi
satu-satunya ibadah yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang musyrik untuk
pura-pura mendekatkan diri pada Allah SWT.
Agar dilihat manusia, mereka bisa
pura-pura shalat, zakat, haji bahkan berjihad, tetapi mereka tak pernah bisa
berpura-pura puasa sebab hanya Allah-lah yang menilainya.
Berlaku ikhlas memang berat sebab
urusan niat ada dalam hati. Maka, pantaslah ketika Sofyan Assaury berkata,
“Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat dari pada
meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik”.
Semoga puasa kali ini membentuk
kita menjadi pribadi yang pandai menjaga keikhlasan dalam segala
aktivitas. Wallahu a’lam.
Sumber : dakwatuna
0 Response to "Berlatih Keikhlasan"
Posting Komentar